(Harvick Hasnul Qolby, Bendahara PBNU)
JBN NEWS ■ Modal Negara sempat santer menyusul pidato Prabowo dalam kampanyenya yang menyinggung hal tersebut. Belakangan, perdebatan serupa kembali mengemuka di salah satu stasiun televisi, antara Adian Napitupulu, Arya Sinulingga Stafsus Kementerian BUMN, dan Yustinus Prastowo Stafsus Kementerian Keuangan.
Secara garis besar, mereka berdebat soal data dan angka-angka, yang muaranya adalah kritik awal Adian terhadap kinerja BUMN.
Pertumbuhan Perusahaan dan Hutang
BUMN banyak berasal dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan eks Belanda serta beberapa perusahaan didirikan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan kondisi pertumbuhan ekonomi saat itu. Sumber-sumber dana untuk pengembangan BUMN banyak berasal dari a) Penambahan Modal Negara (PMN) atau sebelumnya disebut Penambahan Modal Pemerintah (PMP) baik berupa uang kas maupun non kas, b) Utang, dan c) pemupukan dana internal perusahaan yang berasal dari laba. Namun PMN dan Utang menjadi sumber utama selama ini di sebagian besar BUMN-BUMN.
Hutang-Hutang yang digunakan untuk mengembangkan perusahaan berasal dari kredit jangka panjang, menengah dan pendek, baik berasal dari dalam maupun luar negeri. Pihak pemberi Huang-Hutang tersebut termasuk pemerintah, perbankan, organisasi keuangan seperti world bank dan ADB, serta investor-investor melalui penjualan surat Hutang seperti obligasi, global bonds, MTN, RDPT dan lain-lain.
Dari Hutang tersebut, ada yang digunakan untuk investasi dalam memupuk asset serta untuk modal kerja. Permasalahan Hutang BUMN Seperti juga perusahaan non BUMN, permasalahan terkait Hutang BUMN pada dasarnya berawal dari mismatch antara rencana awal ketika menarik Hutang dengan realisasi proyek atau usaha yang dibangun/dijalankan dengan dibiayai oleh Hutang tersebut.
Adanya gap antara rencana dan realisasi ini bisa saja karena kondisi eksternal maupun internal perusahaan, baik yang uncontrollable, controllable bahkan ada juga by design.
Faktor eksternal yang uncontrollable antara lain adalah terjadinya krisis, bencana alam, pandemic dan sebagainya. Namun ada juga karena adanya perubahan kebijakan, di luar kendali perusahaan.
Faktor yang controllable dan bahkan by design yang menyebabkan terjadinya mismatch bahkan double atau triple missmatches berasal dari antara lain:
– Mismatch jangka waktu; Hutang jangka pendek atau menengah digunakan untuk membiayai proyek jangka panjang.
– Mismatch kurs; Hutang berupa mata uang asing untuk investasi atau usaha yang revenue-nya dalam mata uang lokal.
– Mismatch penggunaan: Hutang seharusnya untuk modal kerja tetapi digunakan untuk membiayai yang lain seperti biaya administrasi dan umum.
– Mismatch asumsi dalam perhitungan; tidak ada penyesuaian atau mitigasi risiko ketika terjadi mismatch antara asumsi-asumsi yang digunakan studi kelayakan dan realisasinya.
Hutang BUMN non keuangan meningkat tajam, semenjak tahun 2015 dengan mayoritas mata uang asing. Kita dapat memaklumi meningkatnya hutang BUMN semenjak 2015 ditinjau dari sisi kemanfaatan pembangunan infrastruktur yang masif periode kepemimpinan Jokowi-JK. *Infrastruktur untuk kesejahteraan rakyat*. Perdebatan soal hutang yang tidak substansial harus diakhiri apalagi debat antar pendukung Pak Jokowi. Kita sudah merasakan tahapan kemajuannya.
Saatnya sekarang kita perbaiki BUMN dengan inovasi model bisnis fokus pada core bisnis, kepemimpinan inovatif dalam tingkat global dan pengembangan digital, peningkatan investasi dan pengembangan talenta insan BUMN dengan pendidikan dan pelatihan. Kesalahan asumsi dan pelaksaan hutang di masa lalu tidak boleh terulang lagi. Segera revitalisasi aset BUMN dan tuntaskan sengketa-sengketa yang ada untuk memperkuat modal BUMN. BUMN harus memberikan nilai tambah ekonomi dengan ditopang organisasi yang kuat agar dapat memberikan nilai strategis bangsa dan memaksimalkan pelayanan publik. (R/JNN)