by M Rizal Fadillah
JBN NEWS ■ Sabar dulu boss. Jangan buru-buru geerrr dulu. Sebab judul tulisan ini tentu bukan berita yang menggambakan keadaan sebenarnya di Indonesia. Kondisi di tanah air masih penuh dengan kegelisahan. Bahkan kegoncangan akibat pengesahan undang-undang yang “memakan semua” Omnibus Law Cipta Kerja (Cilaka).
Aksi unjuk rasa di tanah tentu belum ada tanda-tanda akan berakhir. Masyarakat belum puas dengan berbagai klarifikasi tentang “hoaks” bahkan tindakan “tegas” dari rezim yang berkuasa sekarang. Bahkan penangkan-penangkapan terhadap sejumlah aktivis demokrasi masih terjadi beberapa hari lalu. Peserta aksi demonstrasi juga ada yang meninggal, Akbar Alamsyah yang berusia 19 tahun.
Yang mengundurkan bukan Presiden Jokowi. Tetapi Presiden Kyrgyzstan Sooronbay Jeenbekov. Dia baru saja mengumumkan pegunduran diri akibat unjuk rasa terkait sengketa pemilihan anggota parlemen pada 4 Oktober 2020. Presiden Jeenbekov mengundurkan diri dengan mempertimbangkan kebaikan negara dan tidak mau mengorbankan rakyat yang tersakiti.
“Saya tidak akan bergantung pada kekuasaan. Saya juga tidak ingin turun dalam sejarah Kurzystan sebagai Presiden yang membiarkan terjadinya pertumpahan darah dan penembakan terhadap rakyat. Saya telah mengambil keputusan untuk mengundurkan diri” demikian ungkapan dilansir televisi Al Jazeera pada 15 Oktober 2020.
Kepemimpinan yang berfikir tentang kebaikan untuk rakyat dan negara ke depan tentu saja sangat terpuji dan mulia. Apalagi dengan keyakinan bahwa kekuasaan bukanlah segala-galanya. Sebab “mempertahankan kekuasaan tidak sebanding dengan integritas negara dan kesepakatan dalam masyarakat” kata Jeebenkov.
Unjuk rasa rakyat Kyrgyzstan adalah suara kebenaran dan keadilan. Bukan sasaran lawan dari yang tidak suka terhadap kekuasaan. Substansi yang diperjuangkan rakyat senantiasa pada aspek kecurangan, keculasan atau kesewenang-wenangan penguasa. Juga berkisar pada moralitas politik, hukum, dan ekonomi yang diabaikan oleh penguasa.
Pada November 2019 yang lalu Presiden Bolivia Evo Marales juga mengundurkan diri setelah unjuk rasa rakyat Bolivia yang datang secara bergelombang. Akhirnya dengan “terbirit-birit” Evo Morales lari meminta suaka politik ke Mexico City. Kekuasaan yang digenggam oleh Evo Marales tidak mampu dipertahankan dengan modal kekerasan.
Unjuk rasa di Indonesia baru tahap desakan pembatalan Omnibus Law yang dinilai berbahaya oleh kaum buruh, mahasiswa, pelajar dan masyarakat lainnya. Implikasi bisa saja pada tuntutan pengunduran diri Presiden Jokowi jika tidak ada putusan bijak yang didengar rakyat. Tindakan represif bukan jawaban. Karenanya diharapkan tidak ada sikap pemaksaan kehendak. Undang-undang ini diproduk tanpa proses dan konten yang matang dan berkeadilan.
Reaksi publik harus dibaca sebagai kritik atas pemanfaatan hukum oleh kepentingan politik yang secara telanjang dipertontonkan. Rasa malu penyelenggara negara yang hilang. DPR maupun Pemerintah mempertontonkan sikap yang tidak bisa diterima rakyat. DPR dan pemerintah lebih mengutamakan kepentingan pengusaha dan pemodal dalam membuat undang-undang Cilaka.
Sebagai pelajaran adalah peristiwa di Amerika Latin lagi. Tepatnya di Mexico. Anggota Parlemen Antonio Garcia pada tahun 2013 berpidato sambil membuka baju kemeja dasi dengan menyisakan celana dalam saja yang dikenakannya. Ini bentuk lain dari protes terhadap kekuasaan dan parlemen yang tidak mau mendengar tuntutan rakyat. Tuli dan budeg terhadap aspirasi rakyat.
“Kalian malu melihatku telanjang? Kenapa kalian tidak malu pada bangsamu? Hartanya telah kalian rampok dan curi, sehingga kalian dan keluarga kalian hidup dalam kemewahan yang paripurna?”. Antonia memprotes investasi asing yang telah menggerus kedaulatan negara.
“Karena duit rela mengorbankan harga diri dan bangsa “. Begitlah ketegasan Antonio. Namun untung saja itu pidato di Mexico. Bukan di Indonesia.
Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan.
Sumber: FNN