Setiap pemerintahan di seluruh penjuru dunia selalu berusaha, berjuang memulihkan, meningkatkan kepercayaan internasional terhadap mereka.
Tidak sebatas pada masalah masalah keuangan dan anggaran, namun juga upaya menarik minat internasional melalui berbagai cara mulai dari isu pemerintahan yang bersih, bebas korupsi, komitmen pada dalam pelaksanaan hak azasi manusia, keberpihakan pada lingkungan hidup, dan keseriusan dalam memberantas kemiskinan.
Ternyata dalam keseluruhan hal tersebut, Pemerintahan Jokowi gagal menarik simpati dan minat internasional untuk memberi hutang Indonesia.
Berbagai proposal pemerintah ternyata gagal menuai hasil, mulai dari 14 paket kebijakan ekonomi, dilanjutkan dengan megaproyek ambisius, lalu dilanjutkan lagi dengan tax amnesty dan sekarang omnibuslaws, semuanya tidak membuat internasional senang.
Bahkan termasuk gonjang ganjing politik dalam negeri seperti isue intoleransi, radikalisme, ancaman pada demokrasi, semuanya gagal juga menarik simpati internasional untuk mendukung pemerintah Indonesia.
Bahkan Bank Dunia baru-baru ini menyatakan proposal omnibuslaw yang sangat dibanggakan pemerintah, malah dipandang merupakan agenda pengrusakan lingkungan, mengabaikan hak pekerja dan mengancam keselamatan penduduk.
Bukti paling nyata bahwa internasional telah menjauh dari pemerintahan ini adalah pemerintah sama tidak lagi dapat memperoleh hutang bilateral dan multilateral?
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa sepanjang tahun 2020 hutang luar negeri Pemerintahan Jokowi tidak bertambah seupil pun. Bahkan yang terjadi hutang luar negeri Pemerintah Jokowi menurun.
Jadi ternyata negara pemberi hutang dan lembaga keuangan multilateral tidak ada lagi yang mau menolong Indonesia. Hal ini mengonfirmasi datangnya masa sulit yakni para debt collector akan datang nongkrong di kementerian keuangan menunggu hutang segera dibayar oleh pemerintah.
Pemerintahan telah berhadapan dengan tukang tagih yang nongkrong di halaman rumah.
Data statistik eksternal BI mencatat hutang pemerintah Indonesia menurun dari 202,872 miliar dolar AS pada akhir tahun 2019 menurun menjadi 200,168 miliar dolar AS pada kwartal II tahun 2020.
Ini jelas kesialan yang besar mengingat dalam masa pandemi ini pemerintah sedang BU alias butuh uang. Uang cash yang banyak disaat penerimaan pajak anjlok secara drastis. Sementara pemerintah menetapkan defisit atau target hutang dalam anggaran tahun 2020 lebih dari 1000 triliun rupiah.
Keadaan yang dihadapi Presiden Jokowi sangat membayakan. Apa itu bahayanya? Satu sisi pemerintah dihadapkan harus membayar kewajiban dalam mata uang asing, khususnya kewajiban dalam US dolar dalam masa sulit, sedangkan penerimaan hutang dalam mata uang asing tidak diperoleh sepeserpun.
Uang rupiah masyarakat akan disedot untuk bayar hutang dolar dan mata uang asing lainnya. Cilakanya lagi pandemi covid 19 diperkirakan sampai dengan tahun 2025, yang akan membuat penerimaan negara makin anjlok.
Sementara debt collector alias tukang tagih hutang sudah nongkrong di halaman kantor menteri keuangan. Berat dan serem ya sinuhun.
Oleh: Salamuddin Daeng
Penulis adalah peneliti dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)