Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik
Meskipun hanya Lampiran III yang mengatur mengenai legalisasi investasi minuman beralkohol di 4 Provinsi (Bali, NTT, Sultra dan Papua) dan dapat dilakukan di Provinsi lainnya atas usulan Gubernur dan izin BKPM, namun pencabutan ini membuktikan Presiden dengan kewenangannya dapat mengoreksi kebijakannya yang keliru. Berdasarkan mekanisme ketatanegaraan, kebijakan dalam peraturan perundangan dapat di revisi oleh badan kekuasaan yang mengeluarkannya.
DPR dapat merevisi UU, DPRD dapat mereview Perda, Gubernur dapat merevisi Pergub, Walikota dan bupati dapat merevisi Perwal dan Perbub dan Presiden dapat merevisi Perpresnya. Itu artinya, jika ada penolakan review peraturan perundangan, problemnya bukan soal mekanisme tetapi kehendak politik.
Hari ini, Presiden terpaksa merevisi lampiran sebagai bagian dari Perpres No 10 tahun 2021 karena tekanan publik. Semestinya, UU Omnibus Law dahulu juga bisa direvisi oleh Presiden dengan menarik kembali RUU nya dari DPR. Atau, setelah menjadi UU, Presiden juga berwenang mencabut UU Omnibus Law Cipta Kerja dengan menerbitkan Perppu.
Pencabutan Lampiran III Perpres No 10 Tahun 2021, dapat menjelaskan kepada publik bahwa :
Pertama, narasi hukum yang dijajakan Presiden yang selama ini meminta kepada pihak yang tak setuju dengan produk perundangan yang dikeluarkan agar menggugat ke MK atau ke MA adalah narasi yang menjebak. Sebab, sejatinya jika Presiden mendengar aspirasi rakyat, Presiden dapat mereview produk perundangan melalui kewenangannya tanpa melalui proses hukum uji materi, baik via MK maupun MA.
Presiden sebenarnya hanya ingin buang badan, ketika meminta publik membawa perkara ke MK atau MA. Saat perkara dibawa ke MK atau MA, presiden selamat dari tekanan publik, dan akhirnya kasus menguap.
Kedua, pencabutan lampiran III ini dapat dipastikan karena adanya tekanan publik. Karena itu, cukuplah ini dijadikan pelajaran untuk menolak kebijakan peraturan perundangan yang bersifat politis harus dilawan secara politik, bukan dengan pendekatan hukum. Sejumlah upaya yang ditempuh melalui proses hukum terbukti panjang dan melelahkan, dan begitu direvisi Presiden mengeluarkan peraturan perundangan yang baru untuk mengindari putusan pengadilan (Case Iuran BPJS).
Kunci perlawanan politik adalah ribut ribut opini. Dan hal ini, cukup efektif pada kasus legalisasi miras.
Ketiga, pada kasus legalisasi miras daya tolak publik memang luar biasa, dan ini berkait erat dengan sentimen keagamaan khusunya penjagaan akidah Islam. Karena itu, setiap perlawanan publik atas kezaliman yang dikeluarkan rezim tidak boleh dipisahkan dengan semangat membela dan memperjuangkan Islam agar 'ruh perjuangan' menjadi hidup.
Itu pula, yakni ruh Islam yang mampu memaksa Ahok di penjara. Karena itu, jika ingin sukses melakukan perlawanan politik tidak boleh narasi perjuangan itu dipisahkan dengan narasi perjuangan Islam.
Keempat, sosial media di era perjuangan saat ini, tidak bisa dianggap remeh. Karena itu, siapapun yang memiliki perhatian atas perubahan bangsa ini, tidak bisa mengesampingkan sosial media.
Seluruh elemen pergerakan, wajib memiliki soft skill terkait sosmed meskipun sekedar tingkat basic, agar dapat mengamplifasi gaung perjuangan keseluruh pelosok negeri. Sosial media, ibarat senapan serbu yang melontarkannya peluru kritikan, agitasi perubahan, dan konsolidasi sosial ditengah Umat.
Demikianlah, agar hal ini dipahami dan agar umat ini tak mudah diombang-ambingkan oleh narasi yang dikeluarkan rezim. Semoga, Allah SWT menolong kita semua, Amien.