JBN NEWS ■ China perlu mengubah model bisnis "pedang bermata dua" yang salah satunya disajikan dalam proyek-proyek kerjasama Belt and Road Initiatives (BRI).
Meski Beijing telah berulang kali membantahnya, namun jebakan utang dengan skema "loan-to-own" yang dibungkus rapih oleh China dengan BRI semakin nyata.
Mantan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman Rizal Ramli untuk kesekian kalinya memperingatkan model bisnis China yang hanya menguntungkan Beijing, namun melukai mitranya.
Lewat tulisan opininya yang bertajuk "The Risks of Favoring China" yang dipublikasi The Diplomat pada Selasa (6/7), ekonom senior itu memperingatkan bahayanya BRI bagi Indoneisa.
BRI memiliki skenario China meminjamkan ratusan miliar dolar kepada negara-negara untuk membangun atau memodernisasi infrastruktur mereka, mulai dari jalan raya, kereta api, jaringan pipa gas, hingga pelabuhan. Tujuannya untuk mendukung lalu lintas perdagangan global.
Tetapi megaproyek bernilai total triliunan dolar itu bukan tanpa masalah.
"Seperti kebanyakan hal baik dalam hidup, BRI adalah pedang bermata dua. Para kritikus mengatakan inisiatif itu adalah jebakan utang besar-besaran, skema “lend-to-own” yang akan memungkinkan Beijing untuk merebut kendali atas aset strategis negara penerima," tulis Menteri Koordinator Bidang Perekonomian periode 2000-2001 itu.
Mengambil contol Sri Lanka, ia mengatakan, BRI membuat pemerintah Sri Lanka terpaksa menyewakan pelabuhan Hambantota dan 15.000 hektar tanah di sekitarnya ke China selama 99 tahun.
Setelah proses pembangunan dengan pinjaman China, pelabuhan itu dibuka pada 2010. Walaupun puluhan ribu kapal hilir mudik, namun hanya ada 34 kapal yang akhirnya berlabuh di sana pada 2012. Alhasil untuk membayar utang proyek, Sri Lanka harus menyerahkan pelabuhannya ke China.
Belum cukup, pada akhir Mei lalu, pemerintah Sri Lanka juga telah mengesahkan anggaran dana proyek di Colombo Port City senilai 1,4 miliar dolar AS. Tidak heran banyak pihak menganggap keputusan tersebut seakan membuat pemerintah "menyerahkan kedaulatan ke China".
Skenario serupa terjadi di banyak negara, baik itu di Indo-Pafisik maupun Afrika.
"Saya sendiri memiliki keprihatinan yang sama untuk negara saya. Beijing telah mengungkapkan niat buruknya dalam kasus proyek kereta cepat Jakarta-Bandung," sambungnya.
Rizal Ramli menjelaskan, selama proses penawaran proyek, pihak China mengajukan penawaran yang jauh lebih rendah daripada lawan tender mereka, Jepang. Tetapi setelah memenangkan tawaran, angka kemudian berubah.
Terjadi kenaikan harga dan penundaan pada tahap konstruksi. Diperkirakan, biaya akhir dari proyek tersebut akan membengkak hingga 60 persen dari prediksi semula.
"Mudah-mudahan, karena semakin banyak negara mulai mempertanyakan motif China, akan ada peninjauan ulang di aula kekuasaan di Beijing," pungkasnya. (rmol)