JBN NEWS - Kejaksaan Agung (Kejagung) menerima Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dari Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI (Bareskrim Polri) atas dugaan kasus tindak pidana menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian bermuatan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA), yang dilakukan oleh Ferdinand Hutahaean (FH).
"Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) diterbitkan oleh Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Nomor B/01/ I / RES.2.5./ 2022/Dittipidsiber tanggal 06 Januari 2022".
Telah diterima oleh Sekretariat Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Senin 10 Januari 2022," ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak lewat keterangan tertulisnya ke redaksi JBN, Rabu (12/1/2022).
Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah mengirimkan Surat Penetapan Tersangka atas nama Tersangka FH dan juga Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung telah menerbitkan Surat Perintah Penunjukkan Jaksa Penuntut Umum Untuk Mengikuti Perkembangan Penyidikan (P-16).
Sambung Leonard, kasus ini berawal pada 4 Januari 2022 sekitar pukul 10:54 WIB bertempat di Cempaka Mas, Jakarta Pusat, tersangka FH telah memposting cuitan tweets dari akun Twitter milik pribadi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) dan/atau menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, serta menimbulkan keonaran di kalangan rakyat melalui media sosial.
Adapun isi cuitan yang telah diposting oleh tersangka yaitu ”Kasihan sekali Allahmu ternyata lemah harus dibela. Kalau aku sih Allahku luar biasa, maha segalanya, DIA lah pembelaku selalu dan Allahku tak perlu dibela”
Akibat perbuatanya, FH dipersangkakan Pasal 45A ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan/atau Pasal 14 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, dan/atau Pasal 156a KUHP, pungkas Leonard. (Rjb)