Jakarta, JBN.co.id - Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menjadi perhatian dan kajian dalam webinar rutin yang diselenggarakan Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) edisi Sabtu (19/2/2022). Webinar bertajuk “Tren KDRT: Eksistensi Pemerintah Fungsi Pemberdayaan atau Perlindungan Perempuan?” tersebut menekankan, pemerintah dan berbagai pihak terkait perlu menindak tegas perilaku KDRT.
Webinar turut dihadiri oleh berbagai narasumber, yaitu Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Kampus Nusa Tenggara Barat (NTB) Luh Putu Vera Astri Pujayanti, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Valentina Gintings, dan Pengamat Sosial Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati.
Dalam sambutan pembukaannya, Dewan Pakar MIPI yang juga Direktur Politeknik STIA LAN Nurliah Nurdin mengatakan, KDRT bukan hal yang baru, tetapi sudah terjadi sejak zaman jahilliyah hingga sekarang. Perempuan dianggap tidak memiliki kelas yang seimbang dalam konteks hubungan sosial. Selalu ada relasi kuasa yang didominasi laki-laki, bahkan dari kultur yang ada kesalahan-kesalahan selalu diberikan pada perempuan.
Lanjutnya, ketika dalam rumah tangga relasi kuasa tidak seimbang dan adanya budaya perempuan dianggap sebagai ‘milik’ laki-laki, maka laki-laki cenderung melakukan apa pun pada perempuan termasuk melakukan kekerasan.
“Rasa memiliki itu, itu yang kemudian menjadi pemicu (kekerasan) ya. Jadi rasa tidak untuk saling menghargai keberadaan. Padahal kalau kita kembali kepada ajaran agama ya kita selalu diingatkan ya, Muslimin/Muslimat semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama,” ujarnya.
Untuk menghadapi hal itu, ia mewanti-wanti diam bukanlah pilihan dan melarikan diri bukan suatu kemenangan. Perempuan harus menghadapi hal itu secara prosedur dan hukum menggunakan kekuatan yang dimiliki. Apalagi negara saat ini juga hadir.
Sementara itu, Dosen IPDN NTB Luh Putu Vera Astri Pujayanti memaparkan, dalam catatan Komnas Perempuan tahun 2019 menyatakan, kasus kekerasan perempuan paling tinggi terjadi di ranah privat atau personal. Angka kekerasan terhadap istri yang terdata mencapai 5.114 kasus, sedangkan yang tidak terdata seperti fenomena gunung es.
Bentuk kekerasannya baik dari segi fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan lain-lain. Padahal Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sudah 18 tahun berlaku.
Vera mengutip pula pernyataan dari Wakil Ketua Komnas Perempuan, di mana rata-rata kasus kekerasan dalam rumah tangga lebih banyak diselesaikan dengan cara memilih bercerai daripada memidanakan pelaku.
“Karena perceraian dianggap alternatif yang paling mudah untuk dilakukan dalam upaya untuk memutuskan mata rantai kekerasan,” ujarnya.
Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Kementerian PPPA Valentina Gintings memaparkan terkait Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2021. Data menunjukkan, satu dari empat perempuan yang menjadi responden usia 15-64 tahun pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan. Tak hanya kekerasan terhadap perempuan yang tinggi, tapi juga terjadi pada anak. Kekerasan ini merebak ke dunia maya (online).
“Potensi kekerasan online tidak hanya terjadi di dalam rumah tangga tadi, juga terjadi di lingkungan kerja. Jadi ada ketimpangan relasi ya di dalam penggunaan internet ini. Yang paling besar terjadi adalah kasusnya usia 21 hingga 30 tahun,” ujarnya.
Di sisi lain, Pengamat Sosial UI Devie Rahmawati menerangkan, praktik kekerasan dalam perempuan tidak hanya terjadi di Indonesia, dunia menghadapi masalah yang sama. Data World Health Organization (WHO) tahun 2021 menyebut secara global diperkirakan 736 juta perempuan atau 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan. Bahkan di Amerika Serikat yang dianggap maju setiap tiga detik sekali terjadi satu insiden KDRT.
Menambahkan apa yang sudah didiskusikan, Devie menyampaikan, di ranah digital persoalan kekerasan menjadi tantangan. Saat ini sudah banyak terjadi kekerasan seksual yang difasilitasi oleh teknologi. Penjahat online ini hadir sebagai teman, sahabat, yang bisa menggantikan fungsi orang tua yang terlalu sibuk.
“Tantangan ini yang harus benar-benar kita sadari ada di ruang-ruang privat di rumah-rumah kita karena handphone itu sudah menjadi kebutuhan primer yang ada di tangan anak-anak kita. Ada di kamar kita masing-masing,” tandasnya.
(R/jbn)