Jakarta (JBN) - Kejaksaan Agung (Kejagung) mengabulkan restorative justice atau keadilan restoratif pada delapan kasus yang diajukan. Sehingga, kasus tersebut berhenti penuntutannya.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI Ketut Sumedana menjelaskan, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana melakukan ekspose secara virtual dan menyetujui delapan Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, Selasa 15 Maret 2022,
Adapun 8 (delapan) berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif sebagai berikut:
Tersangka WILDAN IRAWAN bin SANID dari Kejaksaan Negeri Cianjur yang disangkakan melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Tersangka JIMMY WEDANANTA MENDROFA bin BAZATULO MENDROFA dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Bandung yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka MARWAN PGL. MARWAN bin SAHAK dari Kejaksaan Negeri Pasaman Barat yang disangkakan melanggar Pertama Pasal 44 Ayat (1) jo. Pasal 5 huruf (a) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Dalam Kekerasan Rumah Tangga atau Kedua Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka HERI NUSANTARA alias HERI bin INDRA dari Kejaksaan Negeri Rejang Lebong yang disangkakan melanggar Pasal 480 ke-1 KUHP tentang Penadahan.
Tersangka ACAN SUNA bin SUNA dari Kejaksaan Negeri Tarakan yang disangkakan melanggar Pasal 44 Ayat (1) atau Pasal 44 Ayat (4) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Dalam Kekerasan Rumah Tangga.
Tersangka HARWIN AVANTO bin JOYO dari Kejaksaan Negeri Tuban yang disangkakan melanggar Pasal 310 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Tersangka SUYONO alias NOTHOK bin (alm) SEMIN dari Kejaksaan Negeri Magetan yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Tersangka TEGUH WEDIARTO bin KUSYADI dari Kejaksaan Negeri Bojonegoro yang disangkakan melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Ada beberapa alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
"Para Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum; Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf; Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya," katanya.
Fadil Zumhana menyampaikan bahwa kepercayaan masyarakat harus tetap dijaga sehingga kualitas perkara yang diajukan untuk diselesaikan melalui restorative justice tetap sesuai dengan pedoman.
"Restorative justice tidak hanya menghentikan perkara semata tetapi juga menggerakan korban dan masyarakat untuk berperan dalam proses menimbulkan harmoni di masyarakat, dan membuat suasana sama seperti sebelum terjadinya tindak pidana. Jadi tidak hanya sekedar menghentikan perkara saja. Putusan SKP2 ini sama dengan putusan pengadilan sehingga kita harus betul-betul meningkatkan kualitas restorative justice," ujar Fadil.
Selanjutnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif, sesuai Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
(R/Jbn)