JAKARTA (JBN) - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo meminta semua pihak untuk menaha diri dan tidak menggoreng goreng lagi isu penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden agar kita semua bisa fokus terhadap upaya recovery ekonomi pasca pandemi covid-19. Sebagaimana ditegaskan Presiden Joko Widodo saat memberikan pengantar Rapat Terbatas soal Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 pada 10 April 2022, bahwa seluruh tahapan dan jadwal pelaksanaan Pemilu dan Pilkada serentak sudah ditetapkan dalam Rapat Kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, KPU, dan Bawaslu pada 24 Januari 2022, bahwa Pemilu akan dilaksanakan 14 Februari 2024.
"Dalam Rapat Terbatas tersebut, Presiden Joko Widodo juga tegas menyampaikan, karena Pemilu 2024 sudah ditetapkan pada 14 Februari 2024, maka tidak perlu lagi muncul berbagai spekulasi di masyarakat terkait adanya upaya untuk melakukan penundaan Pemilu, perpanjangan jabatan presiden, maupun penambahan periodisasi presiden menjadi tiga periode. Sebelumnya, dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara pada 5 April 2022, Presiden Joko Widodo juga menegaskan kepada para menterinya untuk tidak lagi menyuarakan penundaan Pemilu maupun perpanjangan masa jabatan kepresidenan. Bahkan lebih jauh lagi, putera Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang kini menjadi Walikota Solo, juga tegas menyampaikan jika ada yang ingin melakukan demonstrasi di Solo untuk menolak perpanjangan masa jabatan kepresidenan menjadi tiga periode, Gibran akan ikut serta mendukung demonstrasi tersebut," ujar Bamsoet usai menjadi narasumber program acara Adu Perspektif, dengan tema 'Demokrasi Kita, Mendayung diantara Karang', secara virtual di Jakarta, Rabu malam (13/4/22).
Turut hadir menjadi narasumber antara lain, Wakil Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum PKB sekaligus Jazilul Fawaid, Politisi Senior PDI Perjuangan Panda Nababan, Pakar Komunikasi Politik Effendi Ghazali, Presiden BEM KM UGM Muhammad Khalid dan Stafsus Mensesneg Faldo Maldini.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, dari sisi politik, PDI Perjuangan sebagai partai politik pemenang Pemilu 2019 yang meraih 128 kursi di MPR/DPR RI, sekaligus sebagai partai politik yang menaungi Presiden Joko Widodo, serta sebagai partai politik terbesar dan penggerak koalisi pemerintahan, juga sudah menyatakan sikap serupa. Jadi, tidak ada alasan bagi para pihak untuk menggoreng-goreng lagi isu penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan kepresidenan. Jikapun ada pihak-pihak yang ingin mengusulkan amandemen konstitusi, harus melalui mekanisme dan tata cara sebagaimana diatur dalam pasal 37 UUD NRI 1945.
"Mengubah konstitusi tidak bisa dilakukan hanya dalam satu dua hari ataupun dari sekelompok pihak saja. Butuh konsensus politik yang solid dari para partai politik dan juga anggota DPD RI. MPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat yang memiliki kewenangan tertinggi mengubah dan menetapkan konstitusi, selalu tegak lurus pada prinsip negara hukum sesuai peraturan Pasal 1 ayat 3 konstitusi. MPR RI juga tidak bisa menginisiasi sendiri perubahan konstitusi, namun MPR RI harus merespon dari usulan amandemen yang sudah diajukan oleh anggota MPR yang telah memenuhi persyaratan, baik syarat administrasi ataupun syarat substansi," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, untuk mengamandemen konstitusi butuh konsolidasi dan konsensus politik yang solid. Sebagaimana diatur dalam pasal 37 UUD 1945 dan Pasal 101 sampai dengan Pasal 109 Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI. Pada prinsipnya, usul perubahan pasal-pasal konstitusi diajukan kepada Pimpinan MPR oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah Anggota MPR (237 anggota), diajukan secara secara tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah, beserta alasannya. Usul perubahan tidak dapat diubah, diganti, dan/atau ditarik setelah 3 x 24 jam semenjak usul disampaikan kepada Pimpinan MPR. Dalam waktu paling lama 30 hari, Pimpinan MPR menyelenggarakan rapat dengan Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Kelompok DPD untuk memeriksa usul perubahan tersebut.
"Pimpinan MPR kemudian menyelenggarakan Rapat Gabungan untuk menginformasikan dan memutuskan tindak lanjut atas usul perubahan tersebut. Apabila usul ditolak, misalnya tidak memenuhi syarat jumlah pengusul, harus diberikan penjelasan tertulis kepada pengusul. Jika diterima, Pimpinan MPR wajib menyelenggarakan Sidang Paripurna MPR dalam kurun waktu paling lama 60 hari. Seluruh anggota MPR menerima salinan usul perubahan yang dinyatakan telah memenuhi persyaratan tersebut, paling lambat 14 hari sebelum diselenggarakan Sidang Paripurna MPR," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, dalam Sidang Paripurna MPR, setidak-tidaknya dilaksanakan 3 agenda. Yakni, Pengusul menjelaskan usulan yang diajukan beserta alasannya, Fraksi dan Kelompok DPD memberikan pemandangan umum terhadap usul perubahan tersebut, serta pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mengkaji usulan tersebut dalam jangka waktu yang disepakati. Dalam Sidang Paripurna MPR berikutnya, yang dihadiri minimal 2/3 jumlah anggota MPR (474 anggota), Panitia Ad Hoc menyampaikan hasil kajian. Selanjutnya Fraksi dan Kelompok DPD memberikan pemandangan umum terhadap hasil kajian tersebut.
"Putusan untuk mengubah pasal-pasal konstitusi dilakukan dengan persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen ditambah 1 anggota dari seluruh anggota MPR, yaitu 357 anggota MPR. Apabila usulan tidak mendapat persetujuan dari minimal 50 persen ditambah 1 anggota MPR maka usulan ditolak, dan usulan tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa keanggotaan yang sama. Usul perubahan tidak dapat diajukan dalam 6 bulan sebelum berakhirnya masa keanggotaan MPR. Artinya batas waktu terakhir adalah 31 Maret 2024," pungkas Bamsoet. (R/Jbn)