JBN.CO.ID, Soppeng, - “Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya; tanpa kita mengerti tanpa kita bisa menawar. Terimalah dan hadapilah.” – Pesan untuk peran intelektual dari Soe Hok Gie. Kutipan itu, saya kira, bukan pesimistis belaka, melainkan sensasi peradaban!
Kesibukan nasional kita belakangan ini adalah menonton politik. Terdapat panggung debat siapa calon presiden dan calon wakil presiden nanti di2024, terdapat pula panggung debat masing masing tim yang mengorbitkannya, entah itu di TV, YouTube, atau media sosial. Dalam suasana itu, yang terus-menerus mereka pertontonkan adalah tentang kesalahan dan kekurangan para kandidat lawannya dan tak jarang menyerang pribadi seseorang dengan blak blakan.
Yang menjadi persoalan adalah kepada siapa slogan, janji, dan citra itu tertuju? Apakah kepada mayoritas masyarakat yang 60 hingga 70 persen berpendidikan rendah?
Pada kelompok ini, politik bukanlah apa yang terumuskan dalam visi-misi, melainkan apa yang langsung dapat kita nikmati hari ini.
Dengan sangat mudah kita dapat memprediksi pilihan politik kelompok ini, yakni adalah menurut, tergantung, sami’na wa atho’na pada the informal leaders, entah itu ulama/kiai, kerabat dekat, pemimpin komunitas, bahkan penyuap gelap.
Hal yang sebaliknya, apabila visi-misi tersebut benar-benar tertuju untuk merangkul kaum profesional dan pemilih rasional, yang menjadi persoalan bukanlah slogan visi-misi tersebut, melainkan pada implikasi kebijakannya. Mereka akan mengkritisi pada tataran dampak kebijakan akan terlihat kontradiktif, irasional, dan inkoheren yang dipaksakan terhadap kondisi konkret masyarakat, baik dalam segi ekonomi, kebudayaan, maupun sosialnya.Lalu apa peran intelektual dalam kondisi peradaban politik yang demikian?
Upaya memproyeksikan gagasan dan problem sosial suatu bangsa ke dalam lautan imajinasi kebudayaan adalah peran intelektual. Dengan semangat itu, kita mendapat pegangan konseptual untuk menghasilkan sejarah bangsa. Artinya, kita dapat mengenali peran intelektual apabila ada perdebatan berkualitas tentang imajinasi kebudayaan, bahkan secara global.
Tantangan besar bangsa kita hari ini adalah mewujudkan masyarakat terbuka dengan keadilan dan kesejahteraan sebagai tujuan bersama, sebagaimana Bung Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita, bukan isu tentang bergantinya ideologi negara menjadi negara agama. Hal tersebut mendapat asumsi dasarnya dari tujuan reformasi, yaitu pendidikan politik rakyat.
Karena, bagaimana mungkin keadilan dan kesejahteraan bersama terselenggara bila setiap warga negara yang mengalami dampak kebijakan publik tersebut tidak berlaku sebagai subjek rasional?
Sederhananya, ketika keadilan terimplementasikan dalam kebijakan dan aksi, akan sering terjadi benturan di masyarakat. Suatu hal yang ideal, perlu kita kontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat.
Dengan demikian, membuka pintu peluang bagi masyarakat untuk mempertanyakan kembali apakah kebijakan itu baik dan sesuai dengan kondisi mereka adalah suatu keharusan. Maka perlu daftar kebijakan, hak dan kewajiban, namun apakah masyarakat memiliki akses bahkan pengetahuan untuk membaca daftar tersebut.
Jadi, kita perlu pisahkan psikologi massa yang ditakut-takuti dengan isu bergantinya ideologi negara dan lain sebagainya, dengan mengeksplorasi visi-misi para kandidat. Untuk itu, dasar penyelenggaraan komunikasi politik yang sehat dapat terjadi apabila setiap warga negara berlaku sebagai subjek politik rasional dengan berlakunya kurikulum politik publik. Kurikulum tersebut mengabstraksikan fenomena dan terajukan dalam ruang imajinasi kebudayaan.
Imajinasi kebudayaan menjadi mungkin sebab kebudayaan selalu berada dalam wilayah interpretatif, selalu tertafsirkan.
Politik yang imajinasi kebudayaan asuh akan memunculkan harapan. Bukan harapan akan dogmatis, melainkan harapan akan keadilan historis. Upaya itu pertama-tama perlu kita mulai dengan memeriksa seluruh proposal yang terajukan dari para kandidat; apakah hal-hal ideal yang mereka janjikan cocok dengan kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat.
Demokrasi, karena itu, memerlukan sebuah argumentative society, yaitu kondisi kebudayaan di mana transaksi politik kita periksa secara rasional, sehingga kemasukakalan sebuah gagasan dari para kandidat dapat kita perbincangkan dan kritik sebagai warga negara. Para intektual adalah mereka yang menguji demokrasi dan merawatnya dengan jalan menjembatani kemasukakalan sekaligus ketidakmasukakalan kebijakan dalam argumentasi rasional warga negara.
Mengapa harus warga negara? Bukankah tugas itu dapat DPR dan partai politik lakukan?
Memang! Namun status ontologi warga negara lebih tinggi dari keanggotaan partai politik. Tanpa warga negara, demokrasi tidak akan terselenggara, namun politik dapat berjalan tanpa partai politik. Untuk itu, electoral politics tidak boleh menghalangi prinsip primer demokrasi, yakni citizenship politics. Apalagi warga negara terkena dampak langsung dari kebijakan proposal yang terajukan.
Sedangkan DPR dan partai politik, setelah suara pemilu legislatif terselenggara dan terkumpul, maka pemetaan politik koalisi telah usai. Peta itu adalah dasar pembagian kekuasaan di DPR.
Bagi partai, statistik pemilu adalah alat transaksi politik pemilu presiden 2024 bila presidential threshold masih berlaku. Jadi, hanya begitulah rutinitas politik formal terselenggara, namun ruang imajinasi intelektual dalam format politik transaksional tidak diperlukan, karena tidak terdapat kegelisahan eksistensial yang bernafas dari politik semacam itu.
Politik intelektual salah satunya bergerak dalam gerakan sosial, gerakan HAM, gerakan perempuan, aktivis lingkungan, dan gerakan budaya. Dalam platform politik kiri, misalnya, terdapat momem kekosongan (dalam term Zizek) atau event (dalam term Badiou) untuk menerangkan jalan menuju transformasi politik, sosial, kebudayaan, bahkan reforma agraria secara total.
Namun, sialnya, dalam sejarah, pengetahuan akan momentum itu selalu kita mengerti setelah momen itu berakhir. Misal pada Malari 1974, pilpres 2004, 2009 dan 2014 yang tidak terjadi perubahan total. Maka selalu ada keterlambatan historis sehingga energinya tidak cukup dan menjadi lembek saat kita butuhkan pada perubahan secara massif.
Bagi gerakan perempuan, adalah memaksimalkan affirmative action (kuota 30% perempuan di parlemen) dengan perempuan-perempuan yang memahami isu gender (bukan sekadar perempuan) untuk menuntun kebijakan publik yang tentu akan berimbas pada sosial dan budaya berbasis gender equality supaya peradaban patriarki terkikis sedikit demi sedikit. Demikian gerakan sosial lain, yang setidaknya dapat menyelundupkan dan menyodorkan ide HAM, ekologi, dan budaya yang telah terolah sedemikian rupa ke dalam partai dan parlemen.
Di samping itu pula, mendidik civil society adalah suatu keniscayaan. Sebagaimana dari awal tadi, hak mendasar warga negara adalah terlibat mengawasi kebijakan publik. Maraknya hoaks, atau dalam tradisi akademis post-truth atau posmodernisme, menyebabkan bercampurnya yang benar dan yang salah. Dalam kondisi demikian, setidaknya penalaran kita tetap bagus dan lurus, bahkan menjadi fakta baru.
Rasionalitas tersebut dapat mencontoh metode analisis para pendiri bangsa. Yaitu dengan melihat tidak hanya kondisi internal republik, melainkan sekaligus menganalisis kondisi global; seperti Tan Malaka melalui bukunya Naar de Republiek Indonesia; Sutan Sjahrir dengan bukunya Perjuangan Kita; Soekarno dengan Mencapai Indonesia Merdeka; dan Bung Hatta dengan Mendayung Antara Dua Karang. Buku-buku dari founding fathers tersebut adalah basis cara melihat Indonesia yang harus setiap warga negara baca. Dan sejarah mencatat itu.(**)